Jumat, 29 Maret 2013

Teori Komunikasi

Nama     : SUCI HARI ASIHTIMORTY
Kelas      : ILMU KOMUNIKASI 2A
Fak/prodi : FISIP/ILMU KOMUNIKASI
NPM     : 111100014

TEORI-TEORI KOMUNIKASI
Teori Peluru (The Bullet Theory of Communication)

Teori ini Mengasumsikan bahwa media memiliki kekuatan yang sangat perkasa, dan komunikan dianggap pasif atau tidak tahu apa-apa.

Teori peluru pertama kali diperkenalkan pada tahun 1950-an setelah peristiwa penyiaran kaleideskop stasiun radio CBS di Amerika yang berjudul “The Invasion From Mars”. Isi teori ini mengatakan bahwa rakyat benar-benar rentan terhadap pesan-pesan komunikasi massa. Ia menyebutkan pula bahwa apabila pesan ”tepat sasaran”, ia akan mendapatkan efek yang diinginkan.
Menurut Wilbur Schramm, pada tahun 1950-an, teori peluru adalah sebuah proses di mana seorang komunikator dapat menembakkan peluru komunikasi yang begitu ajaib kepada khalayak yang bersifat pasif tidak berdaya. Akan tetapi dalam karya tulisnya yang diterbitkan pada awal tahun 1970-an, Schramm meminta kepada para peminatnya agar teori peluru komunikasi itu dianggap tidak ada, sebab khalayak yang menjadi sasaran media massa itu ternyata tidak pasif.
(http://nisriendivent17.blogspot.com/2012/12/teori-komunikasi-massa-teori-peluru.htm)

            Istilah model hypodermic neadle timbul pada periode ketika komunikasi massa digunakan secara meluas, baik di Eropa maupun di Amerika Serikat, yaitu sekitar1930-an dan mencapai puncaknya menjelang Perang Dunia II. Pada periode ini kehadiran media massa baik media cetak maupun media elektronik mendatangkan perubahan-perubahan besar di berbagai masyarakat yang terjangkau oleh allpowerfull media massa. Penggunaan media massa secara luas untuk keperluan komunikasi melahirkan gejala-gejala mass society. Individu-individu tampak seperti distandarisasikan, diotomatisasikan dan kurang keterikatannya di dalam hubungannya antarpribadi (interpersonal relations). Terpaan media massa (mass media exposure) tampak di dalam kecenderungan adanya homogenitas cara-cara berpakaian, pola-pola pembicaraan, nilai-nilai baru yang timbul sebagai akibat terpaan media massa, serta timbulnya produksi masa yang cenderung menunjukan suatu kebudayaan masa.
Pengaruh media sebagai hypodermic injection (jarum suntik) didukung oleh munculnya kekuatan propaganda Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Media massa memanipulasi kekuatan besar. Bukti-bukti mengenai manipulasi kekuatan besar dari media massa ditunjukkan oleh peristiwa bersejarah sebagai berikut :
a)      Peranan surat-surat kabar Amerika yang berhasil menciptakan pendapat umum positif ketika perang dengan Spanyol pada 1898. Surat-surat kabar itu mampu membuat penduduk Amerika membedakan siapa kawan dan siapa lawan.
b)      Berhasilnya propaganda Goebbels dalam periode Perang Dunia II.
c)      Pengaruh Madison Avenue atas perilaku konsumen dan dalam pemungutan suara.
Model jarum suntik pada dasarnya adalah aliran satu tahap (one step flow), yaitu media massa langsung kepada khalayak sebagai mass audiance. Model ini mengasumsikan media massa secara langsung, cepat, dan mempunyai efek yang amat kuat atas mass audiance. Media massa ini sepadan dengan teori Stimulus-Response (S-R) yang mekanistis dan sering digunakan pada penelitian psikologi antara tahun 1930 dan 1940. Teori S-R mengajarkan, setiap stimulus akan menghasilkan respons secara spontan dan otomatis seperti gerak refleks. Seperti bila tangan kita terkena percikan api (S) maka secara spontan, otomatis dan reflektif kita akan menyentakkan tangan kita (R) sebagai tanggapan yang berupa gerakkan menghindar. Tanggapan di dalam contoh tersebut sangat mekanistis dan otomatis, tanpa menunggu perintah dari otak.
Teori peluru atau jarum hipodermik mengansumsikan bahwa media memiliki kekuatan yang sangat perkasa dan komunikan dianggap pasif atau tidak tahu apa-apa. Teori ini mengansumsikan bahwa seorang komunikator dapat menembakkan peluru komunikasi yang begitu ajaib kepada khalayak yang tidak berdaya (pasif).
A.                Menurut Para Ahli
Menurut Elihu Katz, model ini berasumsi :
1.      Media massa sangat ampuh dan mampu memasukkan ide-ide pada benak komunikan yang tak berdaya.
2.      Khalayak yang tersebar diikat oleh media massa, tetapi di antara khalayak tidak saling berhubungan.
Model Hypodermic Needle tidak melihat adanya variable-variable antara yang bekerja diantara permulaan stimulus dan respons akhir yang diberikan oleh  mass audiance. Elihu Katz dalam bukunya,  “The Diffusion of New Ideas and Practices” menunjukkan aspek-aspek yang menarik dari model hypodermic needle ini, yaitu
1.      Media massa memiliki kekuatan yang luar biasa, sanggup menginjeksikan secara mendalam ide-ide ke dalam benak orang yang tidak berdaya.
2.      Mass audiance  dianggap seperti atom-atom yang terpisah satu sama lain, tidak saling berhubungan dan hanya berhubungan dengan media massa. Kalau individu-individu mass audience berpendapat sama tentang suatu persoalan, hal ini bukan karena mereka berhubungan atau berkomunikasi satu dengan yang lain, melainkan karena mereka memperoleh pesan-pesan yang sama dari suatu media (Schramm, 1963)
Model Hypodermic Needle cenderung sangat melebihkan peranan komunikasi massa dengan media massanya. Para ilmuwan sosial mulai berminat terhadap gejala-gejala tersebut dan berusaha memperoleh bukti-bukti yang valid melalui penelitian-penelitian ilmiah.
Teori Peluru yang dikemukakan Schramm pada tahun 1950-an ini kemudian dicabut kembali tahun 1970-an, sebab khalayak yang menjadi sasaran media massa itu tenyata tidak pasif. Pernyataan Schramm ini didukung oleh Lazarsfeld dan Raymond Bauer.
Lazarfeld mengatakan bahwa jika khalayak diterpa peluru komunikasi, mereka tidak jatuh terjerembab, karena kadang-kadang peluru itu tidak menembus. Ada kalanya efek yang timbul berlainan dengan tujuan si penembak. Sering kali pula sasaran senang untuk ditembak. Sedangkan Bauer menyatakan bahwa khalayak sasaran tidak pasif. Mereka secara aktif mencari yang diinginkannya dari media massa, mereka melakukan interpretasi sesuai dengan kebutuhan mereka.
Sejak tahun 1960-an banyak penelitian yang dilakukan oleh para pakar komunikasi yang ternyata tidak mendukung teori ini. Hasil dari serangkaian penelitian itu menghasilkan suatu model lain tentang proses komunikasi massa, sekaligus menumbangkan model Hipodermic Needle. Kemudian muncullah teori limited effect model (model efek terbatas).
Sumber :
Ardianto, Elvinaro dan Lukiati Komala Erdinaya. 2004. Komunikasi Massa Suatu
Pengantar.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Ofset.

            Di Indonesia, contoh penerapan propaganda ini bisa dilihat pada iklan-iklan produk kecantikan yang ditayangkan di TV. Sang pemasang iklan banyak menyajikan keunggulan-keunggulan yang terdapat dalam produknya untuk menarik perhatian para penonton. Walaupun pada kenyataannya, dari pesan keunggulan yang disampaikan tidak memberikan efek secara langsung dan hanya berdampak pada sebagian orang dengan jenis kulit yang cocok. Dari sinilah, iklan meluncurkan peluru atau propaganda berupa pesan keunggulan produknya dan diterima para penonton yang mungkin sebagian dari mereka terkena pengaruhnya dengan cara membeli produk kecantikan tersebut.


TEORI USES AND GRATIFICATION
Teori uses and gratification pertama kali dijelaskan dalam artikel Elihu Kalz yang diterbitkan pada tahun 1959. Artikel Elihu Kalz tersebut merupakan reaksi atas tuduhan Bernad Barelson yang mengatakan dengan provokatif bahwa penelitian komunikasi telah mati. Kalz lalu mengatakan bahwa bila di masa lalu penelitian-penelitian komunikasi terpusat pada pertanyaan “apa yang dilakukan media terhadapa audience/khalayak?” maka kini penelitian komunikasi saatnya membalik pertanyaan “apa yang dilakukan khalayak terhadap media?” (Tankard and Severin 1997;330).

Teori ini mempertimbangkan apa yang dilakukan orang pada media, yaitu menggunakan media untuk pemuas kebutuhanya. Penganut teori ini meyakini bahwa individu sebagai mahluk supra rasional dan sangat selektif.

Menurut para pendirinya Elihu Katz; Jay G. Blumler; dan Michael gurevitch (dalam Jalaludin Rakmat,1984), uses and gratificatins meneliti asal asal mula kebutuhan secara psikologis dan sosial yang menimbulkan harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber lain, yang membawa pada pola terpaan media yang berlainan (atau keterlibatan pada kegiatan lain), dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat lain.

Perkembangan teori Uses and Gratification Media dibedakan dalam tiga fase (dalam Rosengren dkk., 1974), yaitu:
  • Fase pertama ditandai oleh Elihu Katz dan Blumler (1974) memberikan deskripsi tentang orientasi subgroup audiens untuk memilih dari ragam isi media. Dalam fase ini masih terdapat kelemahan metodologis dan konseptual dalam meneliti orientasi audiens.
  • Fase kedua, Elihu Katz dan Blumler menawarkan operasionalisasi variabel-variabel sosial dan psikologis yang diperkirakan memberi pengaruh terhadap perbedaan pola–pola konsumsi media. Fase ini juga menandai dimulainya perhatian pada tipologi penelitian gratifikasi media.
·         Fase ketiga, ditandai adanya usaha menggunakan data gratifikasi untuk menjelaskan cara lain dalam proses komunikasi, dimana harapan dan motif audiens mungkin berhubungan.
Elihu Katz;Jay G. Blumler; dan Michael Gurevitch (dalam Baran dan Davis, 2000) menguraikan lima elemen atau asumsi-asumsi dasar dari Uses and Gratification Media sebagai berikut:
1.      Audiens adalah aktif, dan penggunaan media berorientasi pada tujuan.
2.      Inisiative yang menghubungkan antara kebutuhan kepuasan dan pilihan media spesifik terletak di tangan audiens
3.      Media bersaing dengan sumber-sumber lain dalam upaya memuaskan kebutuhan audiens
4.      Orang-orang mempunyai kesadaran-diri yang memadai berkenaan penggunaan media, kepentingan dan motivasinya yang menjadi bukti bagi peneliti tentang gambaran keakuratan penggunaan itu.
5.      Nilai pertimbangan seputar keperluan audiens tentang media spesifik atau isi harus dibentuk.

Pengujian-pengujian terhadap asumsi-asumsi Uses and Gratification Media menghasilkan enam (6) kategori identifikasi dan temuan-temuannya (dalam Rosengren dkk., 1974), sebaga berikut:
  1. Asal usul sosial dan psikologis gratifikasi media.
John W.C. Johnstone (1974) menganggap bahwa anggota audiens tidak anonimous dan sebagai individu yang terpisah, tetapi sebagai anggota kelompok sosial yang terorganisir dan sebagai partisipan dalam sebuah kultur. Sesuai dengan anggapan ini, media berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dan keperluan individu-individu, yang tumbuh didasarkan lokalitas dan relasi sosial individu-individu tersebut.
Faktor-faktor psikologis juga berperan dalam memotivasi penggunaan media. Konsep-konsep psikologis seperti kepercayaan, nilai-nilai, dan persepsi mempunyai pengaruh dalam pencarian gratifikasi dan menjadi hubungan kausal dengan motivasi media.
  1. Pendekatan nilai pengharapan.
Konsep pengharapan audiens yang perhatian (concern) pada karakteristik media dan potensi gratifikasi yang ingin diperoleh merupakan asumsi pokok Uses and Gratification Media mengenai audiens aktif. Jika anggota audiens memilih di antara berbagai alternatif media dan non media sesuai dengan kebutuhan mereka, mereka harus memiliki persepsi tentang alternatif yang memungkinkan untuk memperoleh kebutuhan tersebut. Kepercayaan terhadap suatu media tertentu menjadi faktor signifikan dalam hal pengharapan terhadap media itu.
  1. Aktifitas audiens.
Levy dan Windahl (1984) menyusun tipologi aktifitas audiens yang dibentuk melalui dua dimensi:
    • Orientasi audiens: selektifitas; keterlibatan; kegunaan.
    • Skedul aktifitas: sebelum; selama; sesudah terpaan ( baca handsout ”audiens”)
Katz, Gurevitch, dan Haas (1973) dalam penelitian tentang penggunaan media, menemukan perbedaan anggota audiens berkenaan dengan basis gratifikasi yang dirasakan. Dipengaruhi beberapa faktor. Yaitu: struktur media dan teknologi; isi media; konsumsi media; aktifitas non media; dan persepsi terhadap gratifikasi yang diperoleh.
Garramore (1983) secara eksperimental menggali pengaruh ”rangkaian motivasi pada proses komersialisasi politik melalui TV. Ia menemukan bahwa anggota audience secara aktif memproses/mencerna isi media, dan pemrosesan ini dipengaruhi oleh motivasi.
  1. Gratifikasi yang dicari dan yang diperoleh.
Pada awal sampai pertengahan 1970-an sejumlah ilmuwan media menekankan perlunya pemisahan antara motif konsumsi media atau pencarian gratifikasi (GS) dan pemerolehan gratifikasi (GO). Penelitian tentang hubungan antara GS dan GO, menghasilkan temuan sebagai berikut GS individual berkorelasi cukup kuat dengan GO terkait. Di lain pihak GS dapat dipisahkan secara empiris dengan GO, seperti pemisahan antara GS dengan GO secara konseptual, dengan alasan sebagai berikut:
    • GS dan GO berpengaruh, tetapi yang satu bukan determinan bagi yang lain.
    • Dimensi-dimensi GS dan GO ditemukan berbeda dalam beberapa studi.
    • Tingkatan rata-rata GS seringkali berbeda dari tingkatan rata-rata GO.
    • GS dan GO secara independen menyumbang perbedaan pengukuran konsumsi media dan efek.
Penelitian GS dan GO menemukan bahwa GS dan GO berhubungan dalam berbagai cara dengan variabel-variabel: terpaan; pemilihan program dependensi media; kepercayaan; evaluasi terhadap ciri-ciri atau sifat-sifat media.
  1. Gratifikasi dan konsumsi media.
Penelitian mengenai hubungan antata gratifikasi (GS-GO) dengan konsumsi media terbagi menjadi dua kategori utama, yaitu:
    • Studi tipologis mengenai gratifikasi media.
    • Studi yang menggali hubungan empiris antara gratifikasi di satu sisi dengan pengukuran terpaan media atau pemilihan isi media di sisi lain.
Studi-studi menunjukkan bahwa gratifikasi berhubungan dengan pemilihan program. Becker dan Fruit memberi bukti bahwa anggota audiens membandingkan GO dari media yang berbeda berhubungan dengan konsumsi media. Studi konsumsi media menunjukkan terdapat korelasi rendah sampai sedang antara pengukuran gratifikasi dan indeks konsumsi.
  1. Gratifikasi dan efek yang diperoleh.
Windahl (1981) penggagas model uses and effects, menunjukkan bahwa bermacam-macam gratifikasi audiens berhubungan dengan spectrum luas efek media yang meliputi pengetahuan, dependensi, sikap, persepsi mengenai realitas social, agenda setting, diskusi, dan berbagai efek politik.
Blumer mengkritisi studi uses and effects sebagai kekurangan perspektif. Dalam usaha untuk menstimulasi suatu pendekatan yang lebih teoritis, Blumer menawarkan tiga hipotesis sebagai berikut:
·         Motivasi kognitif akan memfasilitasi penemuan informasi.
·         Motivasi pelepasan dan pelarian akan menghadiahi penemuan audien terhadap persepsi mengenai situasi sosial.
·         Motivasi identitas personal akan mendorong penguatan efek.


Teori Agenda Setting
Studi efek media dengan pendekatan agenda setting (penentuan/pengaturan agenda) sudah dimulai pada tahun 1960-an, namun popularitas baru muncul setelah publikasi hasil karya McCombs dan Shaw di Chapel Hill pada tahun 1972. Mereka menggabungkan dua metoda sekaligus, yaitu analisa isi (untuk mengetahui agenda media di Chapel Hill) dan survey terhadap 100 responden untuk mengetahui prioritas agenda publiknya (Haryanto, 2003). Studi tersebut menemukan bukti bahwa terdapat korelasi yang sangat kuat (0,975) antara urutan prioritas pentingnya 5 isu yang dilansir oleh media di Chapel Hill bersesuaian dengan urutan prioritas pada responden.
            Walaupun penelitian tersebut hanya dapat membuktikan pengaruh kognitif media atas audiens, namun studi agenda setting  tersebut sudah dapat dipakai sebagai upaya untuk mengkaji, mengevaluasi, dan menjelaskan hubungan antara agenda media dan agenda publik. McCombs dan Shaw (dalam Griffin, 2003) meyakini bahwa hipotesa agenda setting tentang fungsi media terbukti- terdapat korelasi yang hampir sempurna antara prioritas agenda media dan prioritas agenda publik[1][1].


Agenda media

mempengaruhi

Agenda publik

Bagan Hubungan variabel dalam Teori Agenda Setting

           
            Setelah publikasi karya tersebut, banyak eksplorasi dilakukan dengan menggunakan metode kombinasi analisa isi dan survey. Hasil-hasil penelitian lanjutan adalah beragam. Ada yang memperkuat, akan tetapi tidak sedikit yang memperlemah temuan  McCombs dan Shaw. Mengapa demikian? Rogers (1997) dalam A Paradigmatic Hystory of Agenda Setting Research,   berpendapat bahwa kurang diperhatikannya on going process dalam framing[2][2] dan priming[3][3] agenda media; maupun on going process dalam agenda public, seringkali menyebabkan kesimpulan yang diperoleh dalam studi agenda setting tidak sesuai dengan realita yang ada. Dengan begitu, bisa jadi hasil-hasil penelitian yang beragam itu ada yang bersifat semu. Artinya hubungan yang terjadi disebabkan karena pilihan sampelnya kebetulan mendukung/tidak mendukung hipotesis yang dikembangkan, atau mungkin pilihan isu-nya kebetulan menyangkut/tidak menyangkut kepentingan kelompok responden.

Variabel dalam studi Agenda Setting
            Sampai dengan penerbitan hasil studi yang dilakukan oleh McCombs dan Shaw tahun 1972, hampir semua studi agenda setting yang dilakukan memfokuskan pada dua variabel, yaitu agenda media (sebagai variabel independen) dan agenda publik (sebagai variabel dependen). Analisis hubungan antar variabel yang dilakukan biasanya menekankan pada pola hubungan satu arah atau bersifat linear, yaitu bahwa agenda media mempengaruhi terbentuknya agenda publik. Ini merupakan bukti bahwa kebanyakan peneliti pada saat itu masih percaya bahwa efek media bersifat langsung, sehingga studi mereka lebih banyak berorientasi pada upaya pengukuran besarnya efek media.
            Banyak kritik dilontarkan, yang mempertanyakan dimanakah perbedaan substansial antara efek media di masa lalu dengan aplikasi pendekatan agenda setting dalam menjelaskan sifat dan derajad efek media terhadap audiens.
            Dalam model tersebut, realita yang mengarah pada hubungan timbal balik antara agenda media dan agenda publik kurang mendapatkan perhatian. Seringkali terlupakan bahwa framing dan priming agenda media, dan tingkat kemenonjolan (salience) isu/kejadian pada agenda publik, merupakan proses tidak berujung dan tidak berpangkal. Kurang perhatian terhadap ’proses’ baik dalam bentuk agenda media maupun agenda publik, menyebabkan studi agenda setting kurang mampu menjelaskan mengapa isu-isu tertentu, yang disiarkan oleh media tertentu mempunyai pengaruh tertentu, bagi audiens tertentu.
            Respon terhadap kenyataan tersebut adalah terjadinya perubahan orientasi dalam studi agenda setting bahwa agenda setting bukan hanya suatu gejala melainkan sebuah proses yang berlangsung terus menerus (on going process). Berdasarkan perspektif ini, pemenuhan (coverage) variabel dalam studi agenda setting menjadi sangat luas, karena melibatkan faktor-faktor yang merupakan bagian dari proses terbentuknya agenda media dan agenda publik dan sekaligus bisa digunakan untuk menjelaskan mengapa efek media sangat besar, kecil, atau tidak ada sama sekali.
            Faktor-faktor yang mempengaruhi ada tidaknya pengaruh agenda setting (pengaruh agenda media terhadap agenda publik) disebut faktor kondisional, yang dapat dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) sebagai berikut:
1.     Dari perspektif agenda media adalah sebagai berikut: framing; priming; frekuensi dan intensitas pemberitaan/penayangan; dan kredibilitas media di kalangan audiens.
2.     Dari perspektif agenda publik adalah sebagai berikut: faktor perbedaan individual; faktor perbedaan media; faktor perbedaan isu; faktor perbedaan salience; faktor perbedaan kultural.
Perbedaan individual, pengaruh agenda setting akan meningkat pada diri individu yang memberikan perhatian lebih terhadap isu-isu yang disajikan oleh media massa. Bukti-bukti empirik menunjukkan bahwa perhatian individu terhadap isi media dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, luas pengalaman, kepentingan, perbedaan ciri demografis, sosiologis.  
Bukti-bukti eksperimental (Iynenger & Kinder, dalam Haryanto:2003) menunjukkan bahwa efek agenda setting akan meningkat pada individu-individu yang memberikan perhatian lebih terhadap isu-isu yang dikaji, sedangkan intensitas perhatian sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan derajat kepentingannya.
            Perbedaan media, yang dimaksudkan disini adalah perbedaan coverage media yang ada pada komunitas, kelompok masyarakat, wilayah atau negara tertentu. Diyakini bahwa sekalipun ada kecenderungan uniformitas dalam menyiarkan berita (isu), namun beberapa media tertentu memberikan tekanan dan porsi yang berbeda dalam menyiarkan berita. Framing dan priming merupakan salah satu bukti akan hal ini. Tekanan dan porsi yang berbeda berpengaruh terhadap aseptibilitas agenda media di kalangan audiens. Ini  berarti bahwa media yang lebih diterima oleh audiens akan mempunyai efek agenda setting yang lebih besar. 
Penerimaan audiens terhadap media merupakan salah satu faktor yang bisa meningkatkan prestige media tersebut di kalangan audiens yang bersangkutan. Berkaitan dengan masalah ini, diasumsikan bahwa bila media mampu mengangkat prestige audiens maka efek agenda setting akan meningkat. Hal lain yang bisa mengangkat prestige media di kalangan audience adalah sirkulasi (nasional, internasional), segemen pasar (kelas menengah, atas, eksekutif).
            Perbedaan isu, dilihat dari isinya, isu bisa berupa pengungkapan masalah yang sedang dihadapi oleh individu, kelompok, atau masyarakat, isu juga bisa berupa usulan solusi untuk memecahkan masalah. Masing-masing jenis isu mempunyai efek yang berbeda dalam proses agenda setting. Oleh karena itu, seharusnya diberikan pertimbangan khusus dalam penelitian agenda setting. Sedangkan dilihat dari jenisnya, isu bisa dibedakan sebagai berikut:
  • Obtrusive issues adalah isu-isu yang berkaitan langsung dengan pengetahuan dan pengalaman individu atau khlayak. Artinya, bahwa pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh khalayak tentang isu yang bersangkuatan bukan berasal dari media, akan tetapi sudah dimiliki sebelumnya. Sebaliknya, unobstrusive issues adalah isu-isu yang tidak berkaitan langsung dengan pengetahuan/pengalaman audiens. Bukti empirik menunjukkan bahwa efek agenda setting lebih besar ditemukan pada individu-individu yang mempunyai keterlibatan langsung dengan isu yang disiarkan.
  • Selective issues adalah isu-isu atau sejumlah isu yang dipilih secara khusus, dengan alasan tertentu kemudian diukur pengaruhnya pada khalayak tertentu. Pemilihan isu(sejumlah isu) bisa dilakuakan dengan melakukan analisa terhadap isi media massa, kemudian memilih sejumlah diantaranya yang dianggap lebih menonjol dibandingkan yang lain, atau bisa juga dengan cara mengambil topik-topik yang sedang menjadi pembicaraan hangat di kalangan masyarakat.
  • Remote issues adalah isu-isu yang sama sekali di luar individu, kelompok, atau masyarakat, baik secara geografis, psikologis, maupun politis. Bukti-bukti yang dikumpulkan untuk mengevaluasi pengaruh agenda setting berkaitan dengan remote issues masih bersifat debatable. Artinya, beberapa temuan menyebutkan bahwa remote issues mempunyai efek agenda setting lebih besar. Tetapi pada saat yang hampir bersamaan, temuan yang lain menyebutkan bahwa remote issues tidak memunyai efek sama sekali.

Perbedaan salience, yaitu pemilihan isu berdasarkan perbedaan nilai kepentingan, dilihat dari sisi khalayak; apakah isu yang dipilih untuk menjangkau kepentingan sosial (komunitas yang lebih luas), kepentingan interpersonal (keluarga teman bergaul, tempat kerja, dsb.) ataukah kepentingan individu. Masing-masing pilihan, tentu saja, akan menimbulkan efek agenda setting yang berbeda. Oleh karena itu sangatlah bijaksana mempertimbangkan masalah ini dalam studi agenda setting.
Perbedaan kultural, setiap kelompok masyarakat akan menanggapi dan merespon isu yang sama secara berbeda, yang secara otomatis akan mempengaruhi efek agenda setting yang ditimbulkan. Teori norma budaya yang dikembangkan de Fleur (dalam Haryanto, 2003) menyebutkan bahwa pesan-pesan komunikasi yang disampaikan oleh media massa bisa menimbulkan kesan-kesan tertentu, yang oleh individu disesuaikan dengan norma-norma budaya yang berlaku pada masyarakat dimana individu itu tinggal. Sekalipun dipercaya bahwa media mampu membentuk dan merubah norma baru sebagai acuan hidup bagi kelompok masyarakat tertentu, namun bukti-bukti yang ditemukan belum sepenuhnya mendukung hipotesa tersebut. Bukti-bukti empirik yang paling kuat adalah media massa lebih mudah memperkokoh sistem budaya yang sudah berakar dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, pengukuran efek agenda setting seharusnya mempertimbangkan dengan hati-hati sistem budaya yang dianut oleh individu, kelompok atau masyarakat.
Sampai di sini, konsep kita mengenai agenda setting menjadi semakin kompleks. Studi agenda setting bukan hanya menguji hubungan antara agenda media dan agenda publik an sich, akan tetapi mencakup bagaimana faktor-faktor eksternal mempengaruhi pemberitaan media, dan bagaimana faktor-faktor sosio-kultural mempengaruhi individu dalam memperhatikan, merespon, dan memahami isi pesan media massa.  Oleh karenanya, konsep kita tentang hubungan antar variabel dalam studi agenda setting dapat digambarkan sebagai berikut:

AGENDA MEDIA
1.       Framing
2.       Priming
3.       Durasi.

mempengaruhi
AGENDA PUBLIK
       1.       Karakteristik sosial budaya
       2.       Karakteristik demografis


Jenis isu yang diteliti
1.       Selektif isu
2.       Salience

Suatu Model Tentatif Penelitian Agenda Setting (Haryanto, 2003)



Daftar pustaka:
Karl Erik Rosengren, Lawrence Wenner, Philip Palmgreen, 1974,  Media Gratifications Research: Curent Perspective,
Jalaluddin Rakhmat, 1994, Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya
Nurudin, 2003, Komunikasi Massa, Malang: CESPUR.
Denis McQuail, 1987, Teori Komunikasi Massa, Jakarta, Erlangga
Stanley J. Baran & Dennis K. Davis, 2000, Mass Communication Theory: Foundation, Ferment, and Future ed. 2nd, USA: Wadsworth.
Stephen W. Littlejhon, 1999, Theories of Human Communication ed. 6th, California:  Wadsworth.
Em Griffin, 2003,  A First Look at Communication Theory, ed. 5th, New York: McGraw-Hill Companies.
Haryanto, 2003, Metode Penelitian Komunikasi: Agenda Setting, Surakarta: FISIP Program studi Komunikasi Massa UNS.
Werner J. Severin & James W. Tankard, 2001, Communication Theories: Origins, Methods, & Uses in the Mass Media, ed. 5th, penerj. Sugeng Hariyanto, Addison Wesley Longman Inc.
(http://adiprakosa.blogspot.com/2013/01/teori-agenda-setting_1823.html)
Contoh kasus adalah Prita Mulyasari. Ibu muda yang dipenjara karena mengeluhkan pelayanan sebuah institusi melalui email di sebuah mailist. Media massa mengeksposnya. Tak ayal, dukungan dan simpati mengalir deras bagi pembebasannya. Sampai-sampai diadakannya aksi solidaritas Koin Peduli Prita dalam rangka membantu Prita dalam memperoleh uang untuk bayar denda kepada Rumah Sakit Omni Internasional sebesar Rp204.000.000,-. Alhasil sumbangan seluruh masyarakat dari seluruh Indonesia sebesar Rp825.728.550,-. Jumlah ini empat kali lipat melebihi denda yang harus dibayarkan Prita kepada Rumah Sakit Omni Internasional.

TEORI KULTIVASI
      Teori Kultivasi (Cultivation Theory) merupakan salah satu teori yang mencoba menjelaskan keterkaitan antara media komunikasi (dalam hal ini televisi) dengan tindak kekerasan. Teori ini  dikemukakan oleh George Gerbner, mantan Dekan dari Fakultas (Sekolah Tinggi) Komunikasi Annenberg Universitas Pennsylvania,yang juga pendiri Cultural Environment Movement, berdasarkan penelitiannya terhadap perilaku penonton televisi  yang dikaitkan dengan materi berbagai program   televisi yang ada di Amerika Serikat.
     Teori Kultivasi pada dasarnya menyatakan bahwa para pecandu (penonton berat/heavy viewers) televisi membangun keyakinan yang berlebihan bahwa “dunia itu sangat menakutkan” . Hal tersebut disebabkan keyakinan mereka bahwa “apa yang mereka lihat di televisi” yang cenderung banyak menyajikan acara kekerasan adalah “apa yang mereka yakini terjadi juga dalam  kehidupan sehari-hari”.
     Dalam hal ini, seperti Marshall McLuhan, Gerbner menyatakan bahwa televisi merupakan suatu kekuatan yang secara dominan dapat mempengaruhi masyarakat modern. Kekuatan tersebut berasal dari kemampuan televisi melalui berbagai simbol untuk memberikan berbagai gambaran yang terlihat nyata dan penting seperti sebuah kehidupan sehari-hari.Televisi mampu mempengaruhi penontonnya, sehingga apa yang ditampilkan di layar kaca dipandang sebagai sebuah kehidupan yang nyata, kehidupan sehari-hari. Realitas yang tampil di media dipandang sebagai sebuah realitas objektif.    
     Saat ini, televisi merupakan salah satu bagian yang penting dalam sebuah rumah tangga, di mana setiap anggota keluarga mempunyai akses yang tidak terbatas terhadap televisi. Dalam hal ini, televisi mampu mempengaruhi lingkungan melalui penggunaan berbagai simbol, mampu menyampaikan lebih banyak kisah sepanjang waktu. Gebrner menyatakan bahwa masyarakat memperhatikan televisi sebagaimana mereka memperhatikan tempat ibadah (gereja). Lalu apa yang dilihat di televisi?  Menurut Gerbner adalah kekerasan, karena ia merupakan cara yang paling sederhana dan paling murah untuk menunjukkan bagiamana seseorang berjuang untuk mempertahankan hidupnya. Televisi memberikan pelajaran berharga bagi para penontonnya tentang berbagai ‘kenyataan hidup’, yang cenderung dipenuhi berbagai tindakan kekerasan.
     Lebih jauh dalam Teori Kultivasi dijelaskan bahwa bahwa pada dasarnya ada 2 (dua) tipe penonton televisi yang mempunyai karakteristik saling bertentangan/bertolak belakang, yaitu (1) para pecandu/penonton fanatik (heavy viewers) adalah mereka yang menonton televisi lebih dari 4(empat) jam setiap harinya. Kelompokpenontonini sering juga disebut sebagai kahalayak ‘the television type”, serta 2 (dua) adalah penonton biasa (light viewers), yaitu mereka yang menonton televisi 2 jam atau kurang dalam setiap harinya.
     Dalam penelitian yang dilakukannya, Gerbner juga  menyatakan bahwa cultivation differential dari media effect untuk dijadikan rujukan untuk membandingkan sikap penonton televisi. Dalam hal ini, ia membagi ada 4 sikap yang akan muncul berkaitan dengan keberadaan heavy  viewers, yaitu:
1.      Mereka yang memilih melibatkan diri dengan kekerasan
Yaitu mereka yang pada akhirnya terlibat dan menjadi bagian dari berbagai peristiwa kekerasan
2.      Mereka yang ketakutan berjalan sendiri di malam hari
Yaitu merekayang percaya bahwa kehidupan nyata juga penuh dengan kekerasan, sehingga memunculkan ketakutan terhadap berbagai situasi yang memungkinkan terjadinya tindak kekerasan. Beberapa kajian menunjukkan bahwa untuk tipe ini lebih banyak perempuan daripada laki-laki.

3.      Mereka yang terlibat dalam pelaksanaan hukum
Yaitu mereka yang percaya bahwa masih cukup banyak  orang yang tidak mau  terlibat dalam tindakan kekerasan.
4.      Mereka yang sudah kehilangan kepercayaan
Yaitu  mereka yang sudah apatis tidak percaya lagi dengan kemampuan hukum dan aparat yang ada dalam mengatasi berbagai tindakan kekerasan.  (http://wsmulyana.wordpress.com/2009/01/09/teori-kultivasi/)


[1][1] Dalam salah satu perkembangannya, studi ini diarahkan juga untuk meneliti korelasi antara agenda media; agenda publik; dan agenda kebijakan (baca Manheim: Model Agenda Setting Dinamis).
[2][2] Framing adalah sebuah proses yang mana jurnalis, reporter, editor mengemas isu/kejadian menjadi sajian yang lebih menyentuh dan lebih menarik. Apa yang ditemukan oleh Shaw dan McCombs (1977) merupakan contoh yang bagus untuk menjelaskan makna framing. Mereka menemukan perbedaan efek agenda setting pada isu tentang kejahatan. Efek akan menjadi semakin kuat pada saat isu tersebut dipotret sebagai masalah sosial daripada disajikan sebagai laporan berita dalam bentuk straigh news. Kesimpulannya adalah bagaimana isu/kejadian dikemas merupakan faktor penentu terhadap derajad pentingnya isu di kalangan audiens.

[3][3] Sedangkan priming mengacu pada sebuah metafora, yaitu kemampuan program pemberitaan untuk mempengaruhi kriteria yang dapat digunakan oleh para individu untuk menilai performance pemimpin politik mereka. Misal, pemberitaan yang berkelanjutan(terus menerus) mengenai keterlambatan resufle kabinet dapat dipakai audiens untuk menilai sejauh mana willingness, komitmen, dan kredibilitas politis Presiden SBY dalam mengelola pemerintahan.