Nama : SUCI HARI ASIHTIMORTY
Kelas : ILMU KOMUNIKASI 2A
Fak/prodi
: FISIP/ILMU KOMUNIKASI
NPM : 111100014
TEORI-TEORI
KOMUNIKASI
Teori
Peluru (The Bullet Theory of Communication)
Teori ini Mengasumsikan bahwa media memiliki kekuatan yang
sangat perkasa, dan komunikan dianggap pasif atau tidak tahu apa-apa.
Teori peluru pertama kali diperkenalkan pada tahun 1950-an
setelah peristiwa penyiaran kaleideskop stasiun radio CBS di Amerika yang
berjudul “The Invasion From Mars”. Isi teori ini mengatakan bahwa rakyat
benar-benar rentan terhadap pesan-pesan komunikasi massa. Ia menyebutkan pula
bahwa apabila pesan ”tepat sasaran”, ia akan mendapatkan efek yang diinginkan.
Menurut Wilbur Schramm, pada tahun 1950-an, teori peluru
adalah sebuah proses di mana seorang komunikator dapat menembakkan peluru
komunikasi yang begitu ajaib kepada khalayak yang bersifat pasif tidak berdaya.
Akan tetapi dalam karya tulisnya yang diterbitkan pada awal tahun 1970-an,
Schramm meminta kepada para peminatnya agar teori peluru komunikasi itu
dianggap tidak ada, sebab khalayak yang menjadi sasaran media massa itu
ternyata tidak pasif.
(http://nisriendivent17.blogspot.com/2012/12/teori-komunikasi-massa-teori-peluru.htm)
Istilah
model hypodermic neadle timbul pada
periode ketika komunikasi massa digunakan secara meluas, baik di Eropa maupun
di Amerika Serikat, yaitu sekitar1930-an dan mencapai puncaknya menjelang
Perang Dunia II. Pada periode ini kehadiran media massa baik media cetak maupun
media elektronik mendatangkan perubahan-perubahan besar di berbagai masyarakat
yang terjangkau oleh allpowerfull
media massa. Penggunaan media massa secara luas untuk keperluan komunikasi
melahirkan gejala-gejala mass society. Individu-individu tampak seperti
distandarisasikan, diotomatisasikan dan kurang keterikatannya di dalam
hubungannya antarpribadi (interpersonal relations). Terpaan media massa
(mass media exposure) tampak di dalam kecenderungan adanya homogenitas
cara-cara berpakaian, pola-pola pembicaraan, nilai-nilai baru yang timbul sebagai akibat
terpaan media massa, serta timbulnya produksi masa yang cenderung menunjukan
suatu kebudayaan masa.
Pengaruh media sebagai hypodermic injection (jarum
suntik) didukung oleh munculnya kekuatan propaganda Perang Dunia I dan Perang
Dunia II. Media
massa memanipulasi kekuatan besar. Bukti-bukti mengenai manipulasi
kekuatan besar dari media massa ditunjukkan oleh peristiwa bersejarah sebagai
berikut :
a) Peranan
surat-surat kabar Amerika yang berhasil menciptakan pendapat umum positif
ketika perang dengan Spanyol pada 1898. Surat-surat kabar itu mampu membuat
penduduk Amerika membedakan siapa kawan dan siapa lawan.
b) Berhasilnya
propaganda Goebbels dalam periode Perang Dunia II.
c) Pengaruh
Madison Avenue atas perilaku konsumen dan dalam pemungutan suara.
Model jarum
suntik pada dasarnya adalah aliran satu tahap (one step flow), yaitu media
massa langsung kepada khalayak sebagai mass audiance. Model ini
mengasumsikan media massa secara langsung, cepat, dan mempunyai efek yang amat kuat atas mass audiance.
Media massa ini sepadan dengan teori Stimulus-Response (S-R) yang
mekanistis dan sering digunakan pada penelitian psikologi antara tahun 1930 dan
1940. Teori S-R mengajarkan, setiap stimulus akan menghasilkan respons secara
spontan dan otomatis seperti gerak refleks. Seperti bila tangan kita terkena
percikan api (S) maka secara spontan, otomatis dan reflektif kita akan
menyentakkan tangan kita (R) sebagai tanggapan yang berupa gerakkan menghindar.
Tanggapan di dalam contoh tersebut sangat mekanistis dan otomatis, tanpa
menunggu perintah dari otak.
Teori peluru atau jarum hipodermik mengansumsikan
bahwa media memiliki
kekuatan yang sangat perkasa dan komunikan dianggap pasif atau tidak tahu
apa-apa. Teori ini mengansumsikan bahwa seorang komunikator dapat menembakkan
peluru komunikasi yang begitu ajaib kepada khalayak yang tidak berdaya (pasif).
A.
Menurut Para Ahli
Menurut Elihu Katz, model ini berasumsi
:
1. Media massa sangat
ampuh dan mampu memasukkan ide-ide pada benak komunikan yang tak berdaya.
2. Khalayak yang
tersebar diikat oleh media massa, tetapi di antara khalayak tidak saling
berhubungan.
Model Hypodermic Needle tidak
melihat adanya variable-variable antara yang bekerja diantara permulaan
stimulus dan respons akhir yang diberikan oleh mass audiance.
Elihu Katz dalam bukunya, “The Diffusion of New Ideas and Practices”
menunjukkan aspek-aspek yang menarik dari model hypodermic
needle ini,
yaitu
1.
Media massa memiliki kekuatan yang luar
biasa, sanggup menginjeksikan secara mendalam ide-ide ke dalam benak orang yang
tidak berdaya.
2. Mass audiance dianggap
seperti atom-atom yang terpisah satu sama lain, tidak saling berhubungan dan
hanya berhubungan dengan media massa. Kalau individu-individu mass audience berpendapat
sama tentang suatu persoalan, hal ini bukan karena mereka berhubungan atau
berkomunikasi satu dengan yang lain, melainkan karena mereka memperoleh
pesan-pesan yang sama dari suatu media (Schramm, 1963)
Model Hypodermic Needle cenderung
sangat melebihkan peranan komunikasi massa dengan media massanya. Para ilmuwan
sosial mulai berminat terhadap gejala-gejala tersebut dan berusaha memperoleh
bukti-bukti yang
valid melalui
penelitian-penelitian ilmiah.
Teori Peluru yang dikemukakan Schramm
pada tahun 1950-an ini kemudian dicabut kembali tahun 1970-an, sebab khalayak
yang menjadi sasaran media massa itu tenyata tidak pasif. Pernyataan Schramm
ini didukung oleh Lazarsfeld dan Raymond Bauer.
Lazarfeld mengatakan bahwa jika khalayak diterpa peluru
komunikasi, mereka tidak jatuh terjerembab, karena kadang-kadang peluru itu
tidak menembus. Ada kalanya efek yang timbul berlainan dengan tujuan si
penembak. Sering kali pula sasaran senang untuk ditembak. Sedangkan Bauer
menyatakan bahwa khalayak sasaran tidak pasif. Mereka secara aktif mencari yang
diinginkannya dari media massa, mereka melakukan interpretasi sesuai dengan
kebutuhan mereka.
Sejak tahun 1960-an banyak penelitian
yang dilakukan oleh para pakar komunikasi yang ternyata tidak mendukung teori
ini. Hasil dari serangkaian penelitian itu menghasilkan suatu model lain
tentang proses komunikasi massa, sekaligus menumbangkan model Hipodermic
Needle.
Kemudian
muncullah teori limited effect model (model efek terbatas).
Sumber :
Ardianto, Elvinaro dan Lukiati Komala Erdinaya.
2004. Komunikasi Massa Suatu
Pengantar.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Ofset.
Di Indonesia,
contoh penerapan propaganda ini bisa dilihat pada iklan-iklan produk kecantikan
yang ditayangkan di TV. Sang pemasang iklan banyak menyajikan
keunggulan-keunggulan yang terdapat dalam produknya untuk menarik perhatian
para penonton. Walaupun pada kenyataannya, dari pesan keunggulan yang
disampaikan tidak memberikan efek secara langsung dan hanya berdampak pada
sebagian orang dengan jenis kulit yang cocok. Dari sinilah, iklan meluncurkan
peluru atau propaganda berupa pesan keunggulan produknya dan diterima para
penonton yang mungkin sebagian dari mereka terkena pengaruhnya dengan cara
membeli produk kecantikan tersebut.
TEORI USES AND GRATIFICATION
Teori uses and gratification
pertama kali dijelaskan dalam artikel Elihu Kalz yang diterbitkan pada tahun
1959. Artikel Elihu Kalz tersebut merupakan reaksi atas tuduhan Bernad Barelson
yang mengatakan dengan provokatif bahwa penelitian komunikasi telah mati. Kalz
lalu mengatakan bahwa bila di masa lalu penelitian-penelitian komunikasi
terpusat pada pertanyaan “apa yang dilakukan media terhadapa
audience/khalayak?” maka kini penelitian komunikasi saatnya membalik pertanyaan
“apa yang dilakukan khalayak terhadap media?” (Tankard and Severin 1997;330).
Teori ini mempertimbangkan apa
yang dilakukan orang pada media, yaitu menggunakan media untuk pemuas
kebutuhanya. Penganut teori ini meyakini bahwa individu sebagai mahluk supra
rasional dan sangat selektif.
Menurut para pendirinya Elihu
Katz; Jay G. Blumler; dan Michael gurevitch (dalam Jalaludin Rakmat,1984), uses
and gratificatins meneliti asal asal mula kebutuhan secara psikologis dan
sosial yang menimbulkan harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber
lain, yang membawa pada pola terpaan media yang berlainan (atau keterlibatan
pada kegiatan lain), dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat
lain.
Perkembangan
teori Uses and Gratification Media dibedakan dalam tiga fase (dalam
Rosengren dkk., 1974), yaitu:
- Fase pertama ditandai oleh Elihu Katz dan Blumler (1974) memberikan deskripsi tentang orientasi subgroup audiens untuk memilih dari ragam isi media. Dalam fase ini masih terdapat kelemahan metodologis dan konseptual dalam meneliti orientasi audiens.
- Fase kedua, Elihu Katz dan Blumler menawarkan operasionalisasi variabel-variabel sosial dan psikologis yang diperkirakan memberi pengaruh terhadap perbedaan pola–pola konsumsi media. Fase ini juga menandai dimulainya perhatian pada tipologi penelitian gratifikasi media.
·
Fase ketiga, ditandai adanya usaha
menggunakan data gratifikasi untuk menjelaskan cara lain dalam proses
komunikasi, dimana harapan dan motif audiens mungkin berhubungan.
Elihu Katz;Jay G. Blumler; dan Michael Gurevitch (dalam
Baran dan Davis, 2000) menguraikan lima elemen atau asumsi-asumsi dasar dari Uses
and Gratification Media sebagai berikut:
1. Audiens adalah
aktif, dan penggunaan media berorientasi pada tujuan.
2. Inisiative yang menghubungkan antara kebutuhan kepuasan dan pilihan
media spesifik terletak di tangan audiens
3. Media bersaing
dengan sumber-sumber lain dalam upaya memuaskan kebutuhan audiens
4. Orang-orang
mempunyai kesadaran-diri yang memadai berkenaan penggunaan media, kepentingan
dan motivasinya yang menjadi bukti bagi peneliti tentang gambaran keakuratan
penggunaan itu.
5. Nilai
pertimbangan seputar keperluan audiens tentang media spesifik atau isi harus
dibentuk.
Pengujian-pengujian
terhadap asumsi-asumsi Uses and Gratification Media menghasilkan enam
(6) kategori identifikasi dan temuan-temuannya (dalam Rosengren dkk., 1974),
sebaga berikut:
- Asal usul sosial dan psikologis gratifikasi media.
John W.C.
Johnstone (1974) menganggap bahwa anggota audiens tidak anonimous dan sebagai
individu yang terpisah, tetapi sebagai anggota kelompok sosial yang
terorganisir dan sebagai partisipan dalam sebuah kultur. Sesuai dengan anggapan
ini, media berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dan keperluan individu-individu,
yang tumbuh didasarkan lokalitas dan relasi sosial individu-individu tersebut.
Faktor-faktor
psikologis juga berperan dalam memotivasi penggunaan media. Konsep-konsep
psikologis seperti kepercayaan, nilai-nilai, dan persepsi mempunyai pengaruh
dalam pencarian gratifikasi dan menjadi hubungan kausal dengan motivasi media.
- Pendekatan nilai pengharapan.
Konsep
pengharapan audiens yang perhatian (concern) pada karakteristik media dan
potensi gratifikasi yang ingin diperoleh merupakan asumsi pokok Uses and Gratification
Media mengenai audiens aktif. Jika anggota audiens memilih di antara
berbagai alternatif media dan non media sesuai dengan kebutuhan mereka, mereka
harus memiliki persepsi tentang alternatif yang memungkinkan untuk memperoleh
kebutuhan tersebut. Kepercayaan terhadap suatu media tertentu menjadi faktor
signifikan dalam hal pengharapan terhadap media itu.
- Aktifitas audiens.
Levy dan
Windahl (1984) menyusun tipologi aktifitas audiens yang dibentuk melalui dua
dimensi:
- Orientasi audiens: selektifitas; keterlibatan; kegunaan.
- Skedul aktifitas: sebelum; selama; sesudah terpaan ( baca handsout ”audiens”)
Katz,
Gurevitch, dan Haas (1973) dalam penelitian tentang penggunaan media, menemukan
perbedaan anggota audiens berkenaan dengan basis gratifikasi yang dirasakan.
Dipengaruhi beberapa faktor. Yaitu: struktur media dan teknologi; isi media;
konsumsi media; aktifitas non media; dan persepsi terhadap gratifikasi yang
diperoleh.
Garramore
(1983) secara eksperimental menggali pengaruh ”rangkaian motivasi pada proses
komersialisasi politik melalui TV. Ia menemukan bahwa anggota audience secara
aktif memproses/mencerna isi media, dan pemrosesan ini dipengaruhi oleh
motivasi.
- Gratifikasi yang dicari dan yang diperoleh.
Pada awal
sampai pertengahan 1970-an sejumlah ilmuwan media menekankan perlunya pemisahan
antara motif konsumsi media atau pencarian gratifikasi (GS) dan pemerolehan
gratifikasi (GO). Penelitian tentang hubungan antara GS dan GO, menghasilkan
temuan sebagai berikut GS individual berkorelasi cukup kuat dengan GO terkait.
Di lain pihak GS dapat dipisahkan secara empiris dengan GO, seperti pemisahan
antara GS dengan GO secara konseptual, dengan alasan sebagai berikut:
- GS dan GO berpengaruh, tetapi yang satu bukan determinan bagi yang lain.
- Dimensi-dimensi GS dan GO ditemukan berbeda dalam beberapa studi.
- Tingkatan rata-rata GS seringkali berbeda dari tingkatan rata-rata GO.
- GS dan GO secara independen menyumbang perbedaan pengukuran konsumsi media dan efek.
Penelitian GS
dan GO menemukan bahwa GS dan GO berhubungan dalam berbagai cara dengan
variabel-variabel: terpaan; pemilihan program dependensi media; kepercayaan;
evaluasi terhadap ciri-ciri atau sifat-sifat media.
- Gratifikasi dan konsumsi media.
Penelitian
mengenai hubungan antata gratifikasi (GS-GO) dengan konsumsi media terbagi
menjadi dua kategori utama, yaitu:
- Studi tipologis mengenai gratifikasi media.
- Studi yang menggali hubungan empiris antara gratifikasi di satu sisi dengan pengukuran terpaan media atau pemilihan isi media di sisi lain.
Studi-studi
menunjukkan bahwa gratifikasi berhubungan dengan pemilihan program. Becker dan
Fruit memberi bukti bahwa anggota audiens membandingkan GO dari media yang
berbeda berhubungan dengan konsumsi media. Studi konsumsi media menunjukkan
terdapat korelasi rendah sampai sedang antara pengukuran gratifikasi dan indeks
konsumsi.
- Gratifikasi dan efek yang diperoleh.
Windahl (1981)
penggagas model uses and effects, menunjukkan bahwa bermacam-macam
gratifikasi audiens berhubungan dengan spectrum luas efek media yang meliputi
pengetahuan, dependensi, sikap, persepsi mengenai realitas social, agenda
setting, diskusi, dan berbagai efek politik.
Blumer
mengkritisi studi uses and effects sebagai kekurangan perspektif. Dalam
usaha untuk menstimulasi suatu pendekatan yang lebih teoritis, Blumer
menawarkan tiga hipotesis sebagai berikut:
·
Motivasi kognitif akan memfasilitasi
penemuan informasi.
·
Motivasi pelepasan dan pelarian akan
menghadiahi penemuan audien terhadap persepsi mengenai situasi
sosial.
·
Motivasi identitas personal akan
mendorong penguatan efek.
Teori Agenda Setting
Studi efek media dengan pendekatan agenda setting (penentuan/pengaturan agenda) sudah dimulai pada
tahun 1960-an, namun popularitas baru muncul setelah publikasi hasil karya
McCombs dan Shaw di Chapel Hill pada tahun 1972. Mereka menggabungkan dua
metoda sekaligus, yaitu analisa isi (untuk mengetahui agenda media di Chapel
Hill) dan survey terhadap 100 responden untuk mengetahui prioritas agenda
publiknya (Haryanto, 2003). Studi tersebut menemukan bukti bahwa terdapat
korelasi yang sangat kuat (0,975) antara urutan prioritas pentingnya 5 isu yang
dilansir oleh media di Chapel Hill bersesuaian dengan urutan prioritas pada
responden.
Walaupun
penelitian tersebut hanya dapat membuktikan pengaruh kognitif media atas
audiens, namun studi agenda setting tersebut sudah dapat dipakai sebagai upaya untuk
mengkaji, mengevaluasi, dan menjelaskan hubungan antara agenda media dan agenda
publik. McCombs dan Shaw (dalam Griffin, 2003) meyakini bahwa hipotesa agenda setting tentang fungsi media
terbukti- terdapat korelasi yang hampir sempurna antara prioritas agenda media
dan prioritas agenda publik[1][1].
Agenda media
|
mempengaruhi
|
Agenda publik
|
Bagan Hubungan variabel dalam Teori
Agenda Setting
|
Setelah publikasi karya tersebut,
banyak eksplorasi dilakukan dengan menggunakan metode kombinasi analisa isi dan
survey. Hasil-hasil penelitian lanjutan adalah beragam. Ada yang memperkuat,
akan tetapi tidak sedikit yang memperlemah temuan McCombs dan Shaw. Mengapa demikian? Rogers
(1997) dalam A Paradigmatic Hystory of
Agenda Setting Research, berpendapat bahwa kurang diperhatikannya on going process dalam framing[2][2] dan priming[3][3] agenda media;
maupun on going process dalam agenda
public, seringkali menyebabkan kesimpulan yang diperoleh dalam studi agenda
setting tidak sesuai dengan realita yang ada. Dengan begitu, bisa jadi
hasil-hasil penelitian yang beragam itu ada yang bersifat semu. Artinya
hubungan yang terjadi disebabkan karena pilihan sampelnya kebetulan
mendukung/tidak mendukung hipotesis yang dikembangkan, atau mungkin pilihan
isu-nya kebetulan menyangkut/tidak menyangkut kepentingan kelompok responden.
Variabel dalam studi Agenda Setting
Sampai dengan penerbitan hasil studi
yang dilakukan oleh McCombs dan Shaw tahun 1972, hampir semua studi agenda setting yang dilakukan
memfokuskan pada dua variabel, yaitu agenda media (sebagai variabel independen)
dan agenda publik (sebagai variabel dependen). Analisis hubungan antar variabel
yang dilakukan biasanya menekankan pada pola hubungan satu arah atau bersifat
linear, yaitu bahwa agenda media mempengaruhi terbentuknya agenda publik. Ini
merupakan bukti bahwa kebanyakan peneliti pada saat itu masih percaya bahwa
efek media bersifat langsung, sehingga studi mereka lebih banyak berorientasi
pada upaya pengukuran besarnya efek media.
Banyak kritik dilontarkan, yang
mempertanyakan dimanakah perbedaan substansial antara efek media di masa lalu
dengan aplikasi pendekatan agenda setting dalam menjelaskan sifat dan derajad
efek media terhadap audiens.
Dalam model
tersebut, realita yang mengarah pada hubungan timbal balik antara agenda media
dan agenda publik kurang mendapatkan perhatian. Seringkali terlupakan bahwa framing dan priming agenda media, dan tingkat kemenonjolan (salience) isu/kejadian pada agenda
publik, merupakan proses tidak berujung dan tidak berpangkal. Kurang perhatian
terhadap ’proses’ baik dalam bentuk agenda media maupun agenda publik,
menyebabkan studi agenda setting
kurang mampu menjelaskan mengapa isu-isu tertentu, yang disiarkan oleh media
tertentu mempunyai pengaruh tertentu, bagi audiens tertentu.
Respon
terhadap kenyataan tersebut adalah terjadinya perubahan orientasi dalam studi agenda setting bahwa agenda setting bukan hanya suatu gejala
melainkan sebuah proses yang berlangsung terus menerus (on going process). Berdasarkan perspektif ini, pemenuhan (coverage) variabel dalam studi agenda setting menjadi sangat luas,
karena melibatkan faktor-faktor yang merupakan bagian dari proses terbentuknya
agenda media dan agenda publik dan sekaligus bisa digunakan untuk menjelaskan
mengapa efek media sangat besar, kecil, atau tidak ada sama sekali.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi ada tidaknya pengaruh agenda
setting (pengaruh agenda media terhadap agenda publik) disebut faktor
kondisional, yang dapat dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) sebagai berikut:
1.
Dari perspektif agenda media adalah sebagai berikut: framing; priming;
frekuensi dan intensitas pemberitaan/penayangan; dan kredibilitas media di
kalangan audiens.
2.
Dari perspektif agenda publik adalah sebagai berikut: faktor perbedaan
individual; faktor perbedaan media; faktor perbedaan isu; faktor perbedaan salience; faktor perbedaan kultural.
Perbedaan
individual, pengaruh agenda setting akan meningkat pada diri
individu yang memberikan perhatian lebih terhadap isu-isu yang disajikan oleh
media massa. Bukti-bukti empirik menunjukkan bahwa perhatian individu terhadap
isi media dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, luas pengalaman, kepentingan,
perbedaan ciri demografis, sosiologis.
Bukti-bukti eksperimental (Iynenger & Kinder, dalam
Haryanto:2003) menunjukkan bahwa efek agenda setting akan meningkat pada
individu-individu yang memberikan perhatian lebih terhadap isu-isu yang dikaji,
sedangkan intensitas perhatian sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan
derajat kepentingannya.
Perbedaan media, yang dimaksudkan
disini adalah perbedaan coverage media yang ada pada komunitas, kelompok
masyarakat, wilayah atau negara tertentu. Diyakini bahwa sekalipun ada
kecenderungan uniformitas dalam menyiarkan berita (isu), namun beberapa media
tertentu memberikan tekanan dan porsi yang berbeda dalam menyiarkan berita.
Framing dan priming merupakan salah satu bukti akan hal ini. Tekanan dan porsi
yang berbeda berpengaruh terhadap aseptibilitas agenda media di kalangan
audiens. Ini berarti bahwa media yang
lebih diterima oleh audiens akan mempunyai efek agenda setting yang lebih
besar.
Penerimaan audiens terhadap media merupakan salah satu
faktor yang bisa meningkatkan prestige media tersebut di kalangan audiens yang
bersangkutan. Berkaitan dengan masalah ini, diasumsikan bahwa bila media mampu
mengangkat prestige audiens maka efek agenda setting akan meningkat. Hal lain
yang bisa mengangkat prestige media di kalangan audience adalah sirkulasi
(nasional, internasional), segemen pasar (kelas menengah, atas, eksekutif).
Perbedaan isu, dilihat dari isinya, isu
bisa berupa pengungkapan masalah yang sedang dihadapi oleh individu, kelompok,
atau masyarakat, isu juga bisa berupa usulan solusi untuk memecahkan masalah.
Masing-masing jenis isu mempunyai efek yang berbeda dalam proses agenda
setting. Oleh karena itu, seharusnya diberikan pertimbangan khusus dalam
penelitian agenda setting. Sedangkan dilihat dari jenisnya, isu bisa dibedakan
sebagai berikut:
- Obtrusive issues adalah isu-isu yang berkaitan langsung dengan pengetahuan dan pengalaman individu atau khlayak. Artinya, bahwa pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh khalayak tentang isu yang bersangkuatan bukan berasal dari media, akan tetapi sudah dimiliki sebelumnya. Sebaliknya, unobstrusive issues adalah isu-isu yang tidak berkaitan langsung dengan pengetahuan/pengalaman audiens. Bukti empirik menunjukkan bahwa efek agenda setting lebih besar ditemukan pada individu-individu yang mempunyai keterlibatan langsung dengan isu yang disiarkan.
- Selective issues adalah isu-isu atau sejumlah isu yang dipilih secara khusus, dengan alasan tertentu kemudian diukur pengaruhnya pada khalayak tertentu. Pemilihan isu(sejumlah isu) bisa dilakuakan dengan melakukan analisa terhadap isi media massa, kemudian memilih sejumlah diantaranya yang dianggap lebih menonjol dibandingkan yang lain, atau bisa juga dengan cara mengambil topik-topik yang sedang menjadi pembicaraan hangat di kalangan masyarakat.
- Remote issues adalah isu-isu yang sama sekali di luar individu, kelompok, atau masyarakat, baik secara geografis, psikologis, maupun politis. Bukti-bukti yang dikumpulkan untuk mengevaluasi pengaruh agenda setting berkaitan dengan remote issues masih bersifat debatable. Artinya, beberapa temuan menyebutkan bahwa remote issues mempunyai efek agenda setting lebih besar. Tetapi pada saat yang hampir bersamaan, temuan yang lain menyebutkan bahwa remote issues tidak memunyai efek sama sekali.
Perbedaan
salience, yaitu pemilihan isu berdasarkan perbedaan nilai kepentingan,
dilihat dari sisi khalayak; apakah isu yang dipilih untuk menjangkau
kepentingan sosial (komunitas yang lebih luas), kepentingan interpersonal
(keluarga teman bergaul, tempat kerja, dsb.) ataukah kepentingan individu.
Masing-masing pilihan, tentu saja, akan menimbulkan efek agenda setting yang
berbeda. Oleh karena itu sangatlah bijaksana mempertimbangkan masalah ini dalam
studi agenda setting.
Perbedaan
kultural, setiap kelompok masyarakat akan menanggapi dan merespon
isu yang sama secara berbeda, yang secara otomatis akan mempengaruhi efek
agenda setting yang ditimbulkan. Teori norma budaya yang dikembangkan de Fleur
(dalam Haryanto, 2003) menyebutkan bahwa pesan-pesan komunikasi yang
disampaikan oleh media massa bisa menimbulkan kesan-kesan tertentu, yang oleh
individu disesuaikan dengan norma-norma budaya yang berlaku pada masyarakat
dimana individu itu tinggal. Sekalipun dipercaya bahwa media mampu membentuk
dan merubah norma baru sebagai acuan hidup bagi kelompok masyarakat tertentu,
namun bukti-bukti yang ditemukan belum sepenuhnya mendukung hipotesa tersebut.
Bukti-bukti empirik yang paling kuat adalah media massa lebih mudah memperkokoh
sistem budaya yang sudah berakar dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu,
pengukuran efek agenda setting seharusnya mempertimbangkan dengan hati-hati
sistem budaya yang dianut oleh individu, kelompok atau masyarakat.
Sampai di sini, konsep kita mengenai
agenda setting menjadi semakin kompleks. Studi agenda setting bukan hanya
menguji hubungan antara agenda media dan agenda publik an sich, akan tetapi
mencakup bagaimana faktor-faktor eksternal mempengaruhi pemberitaan media, dan
bagaimana faktor-faktor sosio-kultural mempengaruhi individu dalam
memperhatikan, merespon, dan memahami isi pesan media massa. Oleh karenanya, konsep kita tentang hubungan
antar variabel dalam studi agenda setting dapat digambarkan sebagai berikut:
AGENDA MEDIA
1. Framing
2. Priming
3. Durasi.
|
mempengaruhi
|
AGENDA PUBLIK
1. Karakteristik sosial budaya
2. Karakteristik demografis
|
Jenis isu yang
diteliti
1. Selektif isu
2.
Salience
|
||
Suatu
Model Tentatif Penelitian Agenda Setting (Haryanto, 2003)
|
Daftar
pustaka:
Karl Erik
Rosengren, Lawrence Wenner, Philip Palmgreen, 1974, Media Gratifications Research: Curent
Perspective,
Jalaluddin
Rakhmat, 1994, Psikologi Komunikasi,
Bandung: Remaja Rosdakarya
Nurudin,
2003, Komunikasi Massa, Malang:
CESPUR.
Denis McQuail, 1987, Teori
Komunikasi Massa, Jakarta, Erlangga
Stanley J.
Baran & Dennis K. Davis, 2000, Mass
Communication Theory: Foundation, Ferment, and Future ed. 2nd,
USA: Wadsworth.
Stephen W.
Littlejhon, 1999, Theories of Human
Communication ed. 6th, California: Wadsworth.
Em
Griffin, 2003, A First Look at Communication Theory, ed. 5th, New York:
McGraw-Hill Companies.
Haryanto, 2003,
Metode Penelitian Komunikasi: Agenda Setting, Surakarta: FISIP Program
studi Komunikasi Massa UNS.
Werner J.
Severin & James W. Tankard, 2001, Communication
Theories: Origins, Methods, & Uses in the Mass Media, ed. 5th,
penerj. Sugeng Hariyanto, Addison Wesley Longman Inc.
(http://adiprakosa.blogspot.com/2013/01/teori-agenda-setting_1823.html)
Contoh
kasus adalah Prita Mulyasari. Ibu muda yang dipenjara karena mengeluhkan
pelayanan sebuah institusi melalui email di sebuah mailist. Media massa
mengeksposnya. Tak ayal, dukungan dan simpati mengalir deras bagi
pembebasannya. Sampai-sampai diadakannya aksi solidaritas Koin Peduli Prita dalam
rangka membantu Prita dalam memperoleh uang untuk bayar denda kepada Rumah
Sakit Omni Internasional sebesar Rp204.000.000,-. Alhasil sumbangan seluruh
masyarakat dari seluruh Indonesia sebesar Rp825.728.550,-. Jumlah ini empat
kali lipat melebihi denda yang harus dibayarkan Prita kepada Rumah Sakit Omni
Internasional.
TEORI KULTIVASI
Teori Kultivasi (Cultivation Theory) merupakan salah satu teori yang mencoba
menjelaskan keterkaitan antara media komunikasi (dalam hal ini televisi) dengan
tindak kekerasan. Teori ini dikemukakan oleh George Gerbner, mantan Dekan
dari Fakultas (Sekolah Tinggi) Komunikasi Annenberg Universitas
Pennsylvania,yang juga pendiri Cultural Environment Movement, berdasarkan
penelitiannya terhadap perilaku penonton televisi yang dikaitkan dengan
materi berbagai program televisi yang ada di Amerika Serikat.
Teori Kultivasi pada dasarnya menyatakan bahwa para pecandu (penonton
berat/heavy viewers) televisi membangun keyakinan yang berlebihan bahwa “dunia
itu sangat menakutkan” . Hal tersebut disebabkan keyakinan mereka bahwa “apa
yang mereka lihat di televisi” yang cenderung banyak menyajikan acara kekerasan
adalah “apa yang mereka yakini terjadi juga dalam kehidupan sehari-hari”.
Dalam hal ini, seperti Marshall McLuhan, Gerbner menyatakan bahwa televisi
merupakan suatu kekuatan yang secara dominan dapat mempengaruhi masyarakat
modern. Kekuatan tersebut berasal dari kemampuan televisi melalui berbagai
simbol untuk memberikan berbagai gambaran yang terlihat nyata dan penting
seperti sebuah kehidupan sehari-hari.Televisi mampu mempengaruhi penontonnya,
sehingga apa yang ditampilkan di layar kaca dipandang sebagai sebuah kehidupan
yang nyata, kehidupan sehari-hari. Realitas yang tampil di media dipandang
sebagai sebuah realitas objektif.
Saat ini, televisi merupakan salah satu bagian yang penting dalam sebuah rumah
tangga, di mana setiap anggota keluarga mempunyai akses yang tidak terbatas
terhadap televisi. Dalam hal ini, televisi mampu mempengaruhi lingkungan
melalui penggunaan berbagai simbol, mampu menyampaikan lebih banyak kisah
sepanjang waktu. Gebrner menyatakan bahwa masyarakat memperhatikan televisi
sebagaimana mereka memperhatikan tempat ibadah (gereja). Lalu apa yang dilihat
di televisi? Menurut Gerbner adalah kekerasan, karena ia merupakan cara
yang paling sederhana dan paling murah untuk menunjukkan bagiamana seseorang
berjuang untuk mempertahankan hidupnya. Televisi memberikan pelajaran berharga
bagi para penontonnya tentang berbagai ‘kenyataan hidup’, yang cenderung
dipenuhi berbagai tindakan kekerasan.
Lebih jauh dalam Teori Kultivasi dijelaskan bahwa bahwa pada dasarnya ada 2
(dua) tipe penonton televisi yang mempunyai karakteristik saling
bertentangan/bertolak belakang, yaitu (1) para pecandu/penonton fanatik (heavy
viewers) adalah mereka yang menonton televisi lebih dari 4(empat) jam
setiap harinya. Kelompokpenontonini sering juga disebut sebagai kahalayak ‘the
television type”, serta 2 (dua) adalah penonton biasa (light viewers),
yaitu mereka yang menonton televisi 2 jam atau kurang dalam setiap harinya.
Dalam penelitian yang dilakukannya, Gerbner juga menyatakan bahwa cultivation
differential dari media effect untuk dijadikan rujukan untuk
membandingkan sikap penonton televisi. Dalam hal ini, ia membagi ada 4 sikap
yang akan muncul berkaitan dengan keberadaan heavy viewers, yaitu:
1.
Mereka
yang memilih melibatkan diri dengan kekerasan
Yaitu mereka yang pada akhirnya
terlibat dan menjadi bagian dari berbagai peristiwa kekerasan
2.
Mereka
yang ketakutan berjalan sendiri di malam hari
Yaitu
merekayang percaya bahwa kehidupan nyata juga penuh dengan kekerasan, sehingga
memunculkan ketakutan terhadap berbagai situasi yang memungkinkan terjadinya
tindak kekerasan. Beberapa kajian menunjukkan bahwa untuk tipe ini lebih banyak
perempuan daripada laki-laki.
3.
Mereka
yang terlibat dalam pelaksanaan hukum
Yaitu mereka yang percaya bahwa
masih cukup banyak orang yang tidak mau terlibat dalam tindakan
kekerasan.
4.
Mereka
yang sudah kehilangan kepercayaan
Yaitu mereka yang sudah apatis tidak percaya lagi
dengan kemampuan hukum dan aparat yang ada dalam mengatasi berbagai tindakan
kekerasan. (http://wsmulyana.wordpress.com/2009/01/09/teori-kultivasi/)
[1][1] Dalam salah satu perkembangannya, studi ini
diarahkan juga untuk meneliti korelasi antara agenda media; agenda publik; dan
agenda kebijakan (baca Manheim: Model
Agenda Setting Dinamis).
[2][2] Framing adalah sebuah proses yang mana jurnalis,
reporter, editor mengemas isu/kejadian menjadi sajian yang lebih menyentuh dan
lebih menarik. Apa yang ditemukan oleh Shaw dan McCombs (1977) merupakan contoh
yang bagus untuk menjelaskan makna framing. Mereka menemukan perbedaan efek agenda setting pada isu tentang
kejahatan. Efek akan menjadi semakin kuat pada saat isu tersebut dipotret
sebagai masalah sosial daripada disajikan sebagai laporan berita dalam bentuk straigh news. Kesimpulannya adalah
bagaimana isu/kejadian dikemas merupakan faktor penentu terhadap derajad
pentingnya isu di kalangan audiens.
[3][3] Sedangkan priming mengacu pada sebuah metafora,
yaitu kemampuan program pemberitaan untuk mempengaruhi kriteria yang dapat
digunakan oleh para individu untuk menilai performance pemimpin politik mereka.
Misal, pemberitaan yang berkelanjutan(terus menerus) mengenai keterlambatan
resufle kabinet dapat dipakai audiens untuk menilai sejauh mana willingness,
komitmen, dan kredibilitas politis Presiden SBY dalam mengelola pemerintahan.